SPIRIT BAKUDAPA:
NILAI KENDAHAN NEGERI ABORU
(Cerita Rakyat)
Oleh : Nn.
Noni H. Nahumury
Siswa SMK Negeri 6 Ambon
Pada abad ke-12 atau sekitar tahun 1200, ada
tujuh bersaudara keluar dari Nunusaku, Waitui (seram). Mereka adalah Kapitan
Tua Saya dan keenam saudaranya. Mereka keluar
dengan meninggalkan seorang adik perempuan mereka. Mereka menuju ke Waitala. Setibanya
mereka di Waitala, turunlah saudara dari kapitang Tua Saya bernama Lussy di
sebuah tempat bernama Hualoy. Tempat ini berdekatan dengan Air Ama. Sedangkan kapitan
Tua Saya dan keenam Saudaranya berangkat menuju Tihulale.
Setibanya mereka di Tihulale, seorang saudara dari Kapitan Tua Saya turun
lagi. Dia adalah Tualena. Dia berdiam di tempat tersebut. Kemudian Kapitan Tua
Saya dan keempat saudaranya menuju ke selatan pulau Haruku. Sesampainya
mereka di tempat tersebut, yakni di Udik (Waemital), Tua Salai bergabung dengan
Kapitan Salaka dan Rajawane di negeri Amamahina. Itu berarti tinggallah Kapitan
Tua Saya dan ketiga saudaranya yang lain. Dan keempat orang itu pun melanjutkan
pelayaran (perjalanan) mereka. Kali ini mereka menuju ke Hatulawane.
Di Hatulawane singgah dan berdiam lagi
seorang saudara Kapitan Tua saya. Tepatnya di negeri Haria. Dan dia inilah yang
menjadi cikal-bakal marga Hattu di Haria yang masih ada sampai dengan sekarang
ini. Dia adalah Hattu.
Selain itu turun pula seorang saudara Tua
Saya yang lain. Dia ini turun lalu berjalan menyusuri pantai dan gunung Booi.
Dia, kemudian bergabung dengan Kapitan Tanah Sale. Dia adalah Kapitan
Hattusupit.
Tinggal Kapitan Tua Saya dan Rukun
Pokunussa/Leuhery. dua orang bersaudara itu terus melakukan perjalanan. Mereka
menuju ke arah barat. Mereka turun di Wokorui. Setelah mereka turun, Kapitang
Tua saya mendiami Lattu Saman sedangkan adiknya yang bernama Rukun
Pokunussa/Leuhery berdiam di Seittraloi.
Perjumpaan selalu menjadi titik awal
dimulainya sebuah komunitas. Perjumpaan berarti ada sebuah peristiwa yang
dilakoni oleh minimal dua orang. Dua orang inilah yang menjadi cikal bakal
sebuah komunitas yang lebih besar. Sejarah Negeri Aboru, dimulai dengan
perjumpaan antara Kapitan Tua Saya dan Kapitan Nahumury pada abad ke-15 atau sekitar
tahun 1512. Kapitan Nahumury adalah anak raja yang berasal dari Sulawesi. Saat
itu dia dalam perjalanan ke Maluku Tengah. Dalam perjalanan itulah dia bertemu
dengan Kapitan Tua Saya di Amaika. Amaika adalah nama kampung tua Aboru. Perjumpaan itu adalah perjumpaan antara anak
asli Maluku dengan pendatang. Tapi perjumpaan itu melahirkan sebuah
kesepakatan. Saat itu kedua kapitan tersebut berusaha mencari tempat untuk membuka
sebuah negeri baru. Di negeri baru itu, Kapitan Tua Saya berdiam di sebuah
tempat yang namanya Naira. Namun di Naira tidak ada air. Oleh sebab itu Kapitan
Tua Saya mencari lagi tempat baru di sebelah barat. Di bagian barat ini Kapitan
Tua Saya dan Kapitang Nahumury berdekatan. Kapitan Nahumury tinggal di Olokuo.
Kedua kapitan ini kemudian berjalan bersama melewati sebuah sumber air yang
bernama Waetahu. Di negeri yang berlimpah air ini kedua kapitan itu menetap.
Dan Oloako inilah yang menjadi cikal-bakal Negeri Aboru sekarang. Aboru yang
berarti Aman Horui atau negeri yang baru dibuka. Di negeri yang baru dibuka ini
banyak terdapat pohon baru. Pohon baru adalah pohon serat kulitnya bisa dibuat
tali (hisbiscus tiliaceus).
Di negeri Aboru, Kapitan Tua Saya dan
Kapitan Nahumury membangun rumah tinggal. Keduanya membangun rumah di
tengah-tengah Negeri Aboru. Sesudah keduanya membangun rumah maka warga
masyarakat yang masih berada di hutan disuruh
untuk turun. Begitupun dengan masyarakat yang berdiam di Negeri Amaika.
Semuanya disuruh untuk menetap di Negeri Aboru.
Dalam komunitas (kelompok) seperti itu
tanpa pemimpin, bisa menjadi masalah. Komunitas semacam itu bisa terancam bubar
kembali. Oleh karena itu, atas inisiatif kedua kapitan, dicarilah seorang
pemimpin.
Rupanya untuk menghindari salah paham di
antara kedua kapitan itu, dicarilah seorang pemimpin yang bukan salah satu di
antara keduanya. Bukan Kapitan Tua Saya atau Kapitan Nahumury yang jadi
pemimpin. Keduanya sepakat menunjuk Raja Negeri Iwa, Simon Sirih Wae (Raja Tua
Sinay). Namun penunjukkan itu ditolaknya. Namun Simon Sirih Wae (Raja Tua
Sinay) tidak berhenti pada penolakannya itu saja. Dia memberikan pertimbangan
kepada kedua kapitan yang menunjuknya itu. Dia lalu mengusulkan nama seorang
cucunya, yakni Yonas Pusumonya. Dan usulannya itu diterima. Maka Yonas
Pusumonya diangkat menjadi Raja Negeri Aboru.
Pada masa pemerintahannya itulah Negeri
Aboru yang baru, negeri yang telah berada di pesisir pantai itu masyarakatnya
dikumpulkan atau dihimpun ke dalam lima soa. Soa-soa tersebut adalah....
1.
Soa Salahitu yang terdiri atas mata rumah atau marga Saija
2. Soa
Hura yang terdiri atas mata rumah atau marga Nahumury
3. Soa
Rissa yang terdiri atas mata rumah atau marga Sinay
4. Soa
Pelauw yang terdiri atas mata rumah atau marga Akihary
5. Soa Patti
yang terdiri dari mata rumah atau marga Usmany
Struktur masyarakat Aboru dimulai dari
Matarumah Rumah Tua. Setiap matarumah dihimpun menjadi soa, dan dari soa
dihimpun menjadi Aman. Setiap matarumah dipimpin oleh kepala matarumah (Orang
Tua). Soa dipimpin oleh kepala soa sedangkan Aman dipimpin oleh seorang kepala
(tokoh) yang digelari UPU AMAN atau UPU LATTU.
Selain itu Aboru mempunyai nama lain. Nama
dimaksud adalah nama teon atau negeri adat. Aboru dalam nama teon (negeri adat)
disebut LEALOHI SAMA SURUH.
Sebagai negeri adat, Aboru mempunyai juga
rumah adat. Nama teon rumah adat (baeleo) Negeri Aboru adalah SARIAMAN, yang
artinya tempat musyawarah negeri.
Negeri Aboru termasuk dalam masyarakat
Patasiwa. Klan (mata rumah perintah)
atau matarumah raja adalah USMANY.
Negeri Aboru, masyarakatnya beragama
Kristen. Hal ini berawal ketika pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1630 untuk
pertama kalinya Injil Masuk ke Aboru yang dibawa oleh Fransiskus de Sales.
Lelaki Perancis ini berdasarkan data yang ada lahir pada 21 Agustus 1567.
Ketika dia menyebarkan agama Kristen di Aboru, dia ditentang oleh Kapitan Tua
Saya dan ketiga anaknya masing-masing Samalattu, Henalattu, dan Risalattu,
serta Kapitan Nahumury. Padahal masyarakat Aboru dan seorang anak Kapitan Tua
Saya yang bernama Rekson bersedia menerima ajaran tersebut.
Mereka yang menolak ajaran agama Kristen
itu beralasan bahwa mereka berjalan dari
matahari terbit sampai matahari terbenam sehingga tidak boleh ada seorang pun
yang boleh masuk ke negeri itu dengan ajaran apapun.
Kondisi seperti ini tentu saja menciptakan
pro dan kontra di negeri Aboru. Akibatnya dengan kesadaran sendiri Kapitan Tua
Saya beserta ketiga anaknya, serta Kapitan Nahumury, dan masyarakat Aboru yang
tidak mau menerima Injil, keluar dari Aboru dan menetap di hutan. Sebuah cara
bijak menghindari bentrok. Menghindar adalah cara bijak tidak terlibat bentrok.
Ajaran yang dibawa oleh lelaki Perancis
itulah yang dianut masyarakat Aboru sampai dengan sekarang ini.
Ini adalah Batas-batas negeri Aboru
·
Sebelah Timur berbatasan denggan
petuanan Negeri Hulaliu.
·
Sebelah Barat berbatasan dengan petuanan Negeri Wasu.
·
Sebelah Utara berbatasan denggan petuanan Negeri Pelaw.
·
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda.
(Hasil wawancara dengan
Bapak : Izac Saija, tokoh adat Negeri Aboru, pada 21 Maret 2015)
Penulis
Nn.Noni . H . Nahumury
Siswa SMK Negeri 6 Ambon
Program Studi : Akuntansi